(tulisan ini merupakan selebaran pemantik
diskusi film yang diselenggarakan tim redaksi jurnal histma, 9 desember 2014)
Bisa
jadi sebagai makhluk yang malas keluar sarang dengan dalih muak dan gerah
dengan Jogja yang sekarang makin sering macet, lantas saya ditakdirkan untuk
berjodoh dengan karya sutradara Gustavo Taretto ini. Setidaknya ketika
kejengahan pada film hollywood makin memuncak, film berjudul Sidewalls: Buenos Aires In Time of Virtual Love menawarkan resonansi dari
amerika selatan.
Membaca judulnya,
jusru yang terngiang hanya fantasi FTV saya. Ditambah kebiasaan dicekoki drama
korea yang puluhan episode itu. Jadilah sindrom orientalis mengendap kuat dan
merudung benak saya yang pengennya tak lagi sekedar mooi indie tapi juga mooi
movie. Tetapi katarsis saya langsung di-php film ini via kritik tokoh Martin pada pembangunan dan tata ruang kota Buenos
Aires.
Sedari awal, klise
demi klise panorama gedung-gedung pencakar langit, pemukiman berdesakan pun bertingkat-tingkat,
industri berjejal, kabel-kabel dan pemancar televisi dimana-mana, tiang pancang
konstruksi baja, cor semen bejubel dan berjuta apartemen yang menurut Martin
menandakan culture of tenants. Budaya penyewa apartemen yang bentuknya kotak-kotak
dan bertumpuk-tumpuk hingga bagi Martin bagai shoebokes. Martin pun mendiagnosa. Bahwa kehidupan yang dibentuk
dan didisiplinkan oleh arsitektur bangunan-bangunan dan tata ruang kota Buenos
Aires dapat menyebabkan gangguan dan penyakit mulai dari sepparation, divorce, domestic violence, listlessness, lack of
communication, apathy, depression, neurosis, panic attacks, obesity, tenseness, insecurity, hypochondria, stress, sedentary lifestyle
dan suicide. Martin mengaku mengidap
semuanya penyakit tadi, kecuali yang terakhir.
Inilah kiranya the real city (baca: SHITy). Sampai di
sini sinema ini menyajikan kritik atas habit
dan habitus manusia hiper-urban. Dimana
tingkat perkembangan teknologi mendukung dan memudahkan segala aspek kehidupan
sekaligus sangat menyendatkan. Lalu siapakah penyebab semua ini?
Satu
Sinema
yang mengikuti festival Panorama
Berlinale 2011 ini diproduksi tahun 2011 dengan judul asli Medianeras. Tak kurang merupakan hasil
repro Taretto atas film pendeknya yang berjudul sama di tahun 2005. Gaya
semacam recycle inilah yang kemudian
diulang Taretto di tahun ini dengan Las
Insoladas. Sidewalls secara garis
besar menceritakan dua kehidupan yakni Martin (Javier Drolas) dan Mariana
(Pilar Lopez de Ayala). Ringkasnya film berdurasi 95 menit ini menyuguhkan
kisah Martin dan Mariana yang senasib sepergalauan di tengah kehidupan shoeboxes-nya yang muram.
Martin yang
dikungkung sepi dalam apartemennya dan hanya sibuk dengan dunia mayanya sejak
sepuluh tahun lalu. Martin divonis psikiater menderita semacam phobia dan mudah panik. Sehingga ia
menghabiskan waktu hampir setahun belakangan dengan hanya hidup di dalam
apartemennya. Sampai psikiaternya menyarankan agar ia memulai melakukan
kegiatan berjalan-jalan sembari memotret segala fenomena di kota Buenos Aires
sebagai jalan penyembuhan.
Adapun Mariana seorang gadis cantik yang lulus
dari jurusan arsitektur, tetapi mendaku belum pernah merancang gedung apapun. Mariana
justru sudah hampir dua tahun bekerja sebagai shopping window designer, hal mana dia mempersiapkan dan mendesain
tampilan jendela tempat para manekin berpose. Baik Martin dan Mariana sama sama
memiliki kesamaan dalam hal kebosanan dan kesepian. Sama-sama gagal dalam
percintaan, yakni Martin yang ‘LDR’ dengan jaminan mengurus anjing pacarnya,
sedangkan Mariana baru saja putus dari hubungan yang empat tahun lamanya.
Sampai kemudian mereka bertemu dengan ajaibnya. Lantas apakah cinta itu
sebegitu mujurnya?
Baiklah! Katakanlah
konteks Martin dan Mariana itu selaku pencarian identitas di tengah kehidupan
hiper-urban Buenos Aires. Maka, saya mengimani bahwasanya cinta itu sendiri
merupakan persoalan identitas. Terutama ketika cinta sendiri menjawab masalah
eksistensi manusia yang paling penting menyangkut keterhubungan maupun
keterpisahan.
Identitas mestinya
telah kita yakini tak lebih dari hasil kontsruksi sosial. Lalu apa yang harus
dilakukan terhadap konstruksi sosial tersebut? Sanggupkah kita menciptakan
citra identitas diri kita, di luar konstruksi sosial? Jika jawabannya tidak, maka
sanggupkah cinta merefleksikan identitas manusia lepas dari konstruksi sosialnya?
Jika sekali lagi tidak, maka cinta tetaplah tak bisa lepas dari konstruksi
sosial. Lalu konstruksi sosial macam apakah yang membentuk pertemuan ajaib
cinta Martin dan Mariana?
Akhirnya eksistensi
Martin dan Mariana dalam Sidewalls tidaklah sekedar kita hentikan sebagai
fenomena empirik percintaan manusia hiper-urban semata. Tetapi bagaimana
hiper-urban mengkontruksi manusia-manusia di dalamnya, termasuk cinta itu
sendiri.
Adapun kesepian dan
kegalauan Martin dan Mariana tidaklah melulu soal konsekuensi dari kehidupan
hiper-urban. Hal mana ibarat pledoi “sapa suruh datang Jakarta?!” bagi para
pendatang Jakarta yang sial dalam arus urbanisasi. Sehingga solusinya selalu
toleransi dan introspeksi atau menyalahkan diri sendiri. Seolah tak ada yang salah
dari sistem. Seolah tak ada yang menjadi penyebab. Seolah tak ada yang perlu
dirubah. Seolah kondisi itu bukanlah konstruksi sosial. Lalu, cukupkah cinta
menenangkan ketidakberdayaan Martin dan Mariana di Buenos Aires?
dua
Saya semakin kaget.
Bersamaan penampakan kredit titel, kita disuguhi selipan sequel happy ending Martin dan Mariana bermesraan
jua berbahagia. Seolah memang telah ditakdirkan bertemu oleh sebab kesamaan
dalam pergalauan. Seakan ingin memberi pesan pada kita bahwa Martin dan Mariana
berhak berbahagia di tengah kehidupan Buenos Aires yang meng-alienasi keduanya sekalipun. Hebatnya
bahagia di sini sama sekali tanpa merubah konstruksi sosial apapun, tetapi cukup
dengan membuat jendela dengan membongkar tembok ‘sidewall/medianera’ apartemen
demi mencipta jendela baru dan menjemput dewi fortuna cinta. Begitu
sederhanakah habitat cinta di kota Buenos Aires?
Tidak aneh kalau penonton berkesimpulan bahwa
mencari cinta, cukuplah lewat pergulatan diri, dengan usaha toleransi dan
memaklumi segala kenyataan sebagai upaya survive.
Ironisnya lagi jika si penonton meyakini bahwa sesulit dan segalau apapun
kehidupanmu, maka bikin jendela baru
di apartemenmu, maka cinta akan menjemputmu.
Lantas bagaimana
dengan mereka yang tak sanggup membeli apartemen? Jika begini, apakah berarti
tak ada cinta bagi mereka yang hidup di kolong jembatan? Tak adakah cinta bagi
mereka yang miskin dan tinggal di rumah-rumah biasa? Atau pula tak adakah cinta
buat kalangan homeless, buat mereka yang
tinggal di kawasan slum, dan mereka
yang pengangguran? Lewat film ini, seolah taretto berpesan bahwa cinta sejati
hanyalah mereka yang tahu caranya melubangi medianera
buat ketemu jodohnya?!
Mungkin pertanyaan
saya di atas terlalu memaksakan segala realitas terwakili dalam sebuah film. Tetapi
apakah salah ketika penonton menghakimi sebuah film? Yang pasti kerinduan saya
pada sinema romantik ternyata terkabulkan. Sayangnya saya terlanjur gagu dan
cemburu, sebab saya saja tak mampu membeli apartemen, boro-boro mau melubangi tembok untuk sebuah jendela. Akhirnya menonton
Sidewalls adalah menyaksikan cerita galau sepasang manusia kelas menengah
perkotaan.
Kendati demikian,
film ini justru memperingatkan saya pada kegelisahan hidup di kota. Sebab
mekanisme ruang kota telah dipahami dalam gerak kapitalisme. Yakni ketika ruang
dan bentuk kota ditentukan oleh mereka yang bermodal. Dalam film ini, pemukiman
manusia Buenos Aires benar-benar tampak dibentuk oleh para pemodal apartemen.
Pada akhirnya, menjadikan kota sebagai ajang fenomena kelas lengkap dengan
dampak kesenjangan sosialnya antara kaya dan miskin. Padahal semestinya kota
harus dimiliki oleh semua kelas sosial.
tiga
Saya ingin kembali
ke Jogja saja, kota yang lebih nyata di depan kita. Kalau anda lewat jembatan
kewek, arah malioboro. Entah masih ada atau tidak, anda akan menemui papan
baleho besar yang bertuliskan “Terima kasih jogja, Apartemen dan Condotel Sold
Out”. Pertanyaannya, terima kasih pada siapakah? Bukankah itu hanya tertuju
pada mereka yang sanggup membeli apartemen dan kemungkinan bergaya hidup jetset! Dan parahnya baleho besar itu
menggantung di atas rumah-rumah orang biasa yang dimungkinkan tak mengenal
apartemen!
Sekali lagi. Belum
lama ini saya menemui papan baleho iklan semacam itu, di dekat bundaran UGM,
yang mana bertuliskan “1 apartemen = 100 Pohon”. Tampaknya dapat ditafsir jika
anda membeli apartemen, maka anda menyelamatkan atau menanam 100 pohon bagi
hijaunya bumi ini. Lantas bagaimana jika semua orang ingin apartemen dengan
iming-iming kebajikan semacam itu? Tentunya pengusaha dan pemodal properti akan
tergoda untuk menyulap segala lahan menjadi apartemen. Lantas dimana 100 pohon
itu akan tumbuh? Bukankah baru-baru ini warga Karangwuni melakukan demo
penolakan apartemen dan hotel, yang salah satunya dipastikan menyedot persediaan
air tanah bagi warga, sehingga sumur warga akan mengering.
Dahulu ada yang
mengkritik pembangunan kota Jogja yang mengandung aspirasi feodal-agraris, tetapi kini jogja telah begitu
kentara pembangunan capital-oriented-nya.
Selamatkah cinta kita di kota semacam ini? Saya serahkan jawabnya pada cuplikan
lirik lagu:
“Tiada lagi yang tersisa dari
rindu kita / Mimpi tentang rumah kita kehilangan tidurnya / Kosakata kota ragu
terbata-bata...
Katakanlah padaku / Dimanakah
hangat pelukmu / Pohon-pohon lupa kemana ia dilahirkan / Langkah-langkah kaki
tersesat dalam keramaian / Kenangan-kenangan terhempas asap kendaraan / Tiada
lagi yang tersisa dari rindu kita”