Kamis, 25 Desember 2014

Tentang “Berbeda Itu Biasa” nya Ketjilbergerak

Sebagai follower @ketjilbergerak, saya barangkali telah terbiasa menikmati tweet-tweet asik dan seru dari akun itu. Termasuk tentunya, apa yang menjadi alasan saya nge-follow ketjilbergerak; ya karena bagi saya ketjilbergerak tampak semacam wahana yang menampung dan menghasung kreatifitas anak-anak muda, khususnya di Yogyakarta dalam kerja-kerja budaya. Sehingga kreatifitas di sini dinaungi ide atau gagasan yang sederhananya mendidik dan produktif. Beberapa acara pameran sempat saya dengar, sembari mempelajari wacana-wacana dan agenda-agenda yang tertuang di website ketjilbergerak.org. Saya salut sepenuhnya.


Saya terkejut dan kagum. Baru-baru ini ketjilbergerak mengadakan agenda rutinnya yakni ‘kelas melamun’ #12 dengan tema “Berbeda Itu Biasa”. Singkatnya acara yang merupakan kerjasama ketjilbergerak dengan SMA Negeri 8 Yogyakarta dan Universitas Sanata Dharma, menghadirkan Sindhunata dan Marjuki Mohammad (Kill The DJ) sebagai pembicara. Terkait wacana “Berbeda Itu Biasa” ketjilbergerak sebelumnya sempat mengadakan acara lain, seperti acara ‘Kumpul Kampung’ yang berlangsung di Kampung Juminahan. Acara yang bisa dibilang semacam panggung rakyat ini pun berhasil menghadirkan berbagai performer mulai dari teater, musik, pantomim, tari dsb, ibarat kata menjadi sebuah bukti kongkrit ketjilbergerak dalam propaganda “Berbeda Itu Biasa”. Begitu seriusnya ketjilbergerak mengusung wacana ini, sampai-sampai merebaklah poster bertuliskan “Berbeda Itu Biasa” di berbagai penjuru tembok-tembok di Yogyakarta. Lantas seberapa pentingkah “berbeda itu biasa”?


Satu
      Pertanyaan di atas sebenarnya terjawab dengan gampang, asalkan kita mengikuti rangkaian acara tersebut. Apalagi jika kita memperhatikan konten yang diunggah dalam laman ketjilbergerak.org, khususnya video-video yang menunjukkan apa makna “berbeda itu biasa”. Terekam mulai dari anak-anak SMA, Mahasiswa, Pemuda Kampung, Komunitas Vespa, Skateboard, Musisi, Seniman sampai Budayawan dsb diwawancarai perihal toleransi. Yah, kurang lebih jawabannya sama. Semua narasumber berujar tentang toleransi dalam segala perbedaan, baik ras, suku dan agama, maupun ragam hobi, pekerjaan dll. Umumnya banyak yang menyitir frasa “bhineka tunggal ika” sebagai slogan resmi negara kita dalam proyek penyatuan nusantara. Kata toleransi lah yang saya kira hendak dipertegas dalam wacana “Berbeda Itu Biasa”. Tanpa panjang lebar, Cuma dengan menonton video tersebut, sudah lebih dari cukup untuk mengenali toleransi dan meresapi perbedaan ras, suku dan agama di Indonesia sebagai kewajaran. Tentu begitu miris mengingat beberapa waktu lalu sempat terjadi kasus-kasus kekerasan akibat perbedaan klub sepak bola, perbedaan suku dan ras sampai pemahaman dalam agama. Pemicunya bermacam-macam mulai dari soal salah paham sepele sampai fanatisme tertentu. Dari sini apa yang diwacanakan ketjilbergerak dalam berbeda itu biasa, tampak begitu penting. Fenomena poster “berbeda itu biasa” pun menjelma kerja keras ketjilbergerak dalam mempromosikan toleransi, sebagai bagian dari pendalaman atas ide pluralisme-multikulturalisme atau kemjemukan/keberagaman dalam proyek humanisme. Sehingga segala perbedaan haruslah disikapi dengan toleransi sebagai salah satu bentuk pelestarian kemanusiaan di Indonesia. Tetapi cukupkah Poster “Berbeda Itu Biasa” menjelaskan arti penting toleransi pada para pengguna jalan?


Dua
     Jawabannya relatif! Sebab mereka yang hanya berhenti dengan sepedanya, mobilnya atawa motornya di lampu merah jokteng wetan atau lampu merah jalan Munggur, hanya bisa melihat sakilas bentuk sosok-sosok yang berbeda warna dalam poster itu. Frasa Berbeda itu Biasa memang tampaknya terlihat jelas. Sayangnya para pengguna jalan itu, belum tentu mengerti tujuan bijak dari ketjilbergerak. Sebab belum tentu pula mereka membuka situs ketjilbergerak.org. Meskipun begitu bukan berarti mengecilkan peran poster selaku seni jalanan sekaligus berguna bagi media propaganda. Tak ketinggalan mural dan grafiti.



Saya hanya berharap, semoga poster “berbeda itu biasa” tidak disalahpahami. Misalnya berbeda itu biasa, kemudian dipahami bahwa ada yang kaya dan ada yang miskin adalah biasa saja. Sampai di sini saya hanya ingin menegaskan agar “berbeda itu biasa” bukan dipahami sebagai “timpang itu biasa”. Toleransi dalam perbedaan bukan berarti menolerir adanya manusia yang bermewah-mewah dan ada juga manusia yang susah makan atau bahkan busung lapar. Tentu fenomena kaya dan miskin bukan lagi persoalan perbedaan, tetapi ia telah mencapai ranah ketimpangan sosial. Ketimpangan bukanlah bagian dari kemajemukan atau pluralisme, ketimpangan adalah sebuah malapetaka. Ketimpangan adalah elemen dari ketidakadilan.
Pentingnya pendampingan dalam memahami slogan atau ide, dan membaca poster berbeda itu biasa. Sederhananya, harus pula diiringi membuka websitenya dan membaca maksudnya. Harus diakui bahwa slogan dan jargon dalam poster selamanya tetaplah kata-kata, ia menjadi penggerak kesadaran publik ketika dipahami dan dijalani, sebagaimana teori harus menjadi praktek. Salut buat ketjilbergerak! SemangArt!

Minggu, 14 Desember 2014

Sidewalls dan Habitat Cinta Manusia Apartemen

(tulisan ini merupakan selebaran pemantik diskusi film yang diselenggarakan tim redaksi jurnal histma, 9 desember 2014)


     Bisa jadi sebagai makhluk yang malas keluar sarang dengan dalih muak dan gerah dengan Jogja yang sekarang makin sering macet, lantas saya ditakdirkan untuk berjodoh dengan karya sutradara Gustavo Taretto ini. Setidaknya ketika kejengahan pada film hollywood makin memuncak, film berjudul Sidewalls: Buenos Aires In Time of Virtual Love menawarkan resonansi dari amerika selatan.
Membaca judulnya, jusru yang terngiang hanya fantasi FTV saya. Ditambah kebiasaan dicekoki drama korea yang puluhan episode itu. Jadilah sindrom orientalis mengendap kuat dan merudung benak saya yang pengennya tak lagi sekedar mooi indie tapi juga mooi movie. Tetapi katarsis saya langsung di-php film ini via kritik tokoh Martin pada pembangunan dan tata ruang kota Buenos Aires.
Sedari awal, klise demi klise panorama gedung-gedung pencakar langit, pemukiman berdesakan pun bertingkat-tingkat, industri berjejal, kabel-kabel dan pemancar televisi dimana-mana, tiang pancang konstruksi baja, cor semen bejubel dan berjuta apartemen yang menurut Martin menandakan culture of tenants. Budaya  penyewa apartemen yang bentuknya kotak-kotak dan bertumpuk-tumpuk hingga bagi Martin bagai shoebokes. Martin pun mendiagnosa. Bahwa kehidupan yang dibentuk dan didisiplinkan oleh arsitektur bangunan-bangunan dan tata ruang kota Buenos Aires dapat menyebabkan gangguan dan penyakit mulai dari sepparation, divorce, domestic violence, listlessness, lack of communication, apathy, depression, neurosis, panic attacks, obesity, tenseness, insecurity, hypochondria, stress, sedentary lifestyle dan suicide. Martin mengaku mengidap semuanya penyakit tadi, kecuali yang terakhir.


Inilah kiranya the real city (baca: SHITy). Sampai di sini sinema ini menyajikan kritik atas habit dan habitus manusia hiper-urban. Dimana tingkat perkembangan teknologi mendukung dan memudahkan segala aspek kehidupan sekaligus sangat menyendatkan. Lalu siapakah penyebab semua ini?
Satu
     Sinema yang mengikuti festival Panorama Berlinale 2011 ini diproduksi tahun 2011 dengan judul asli Medianeras. Tak kurang merupakan hasil repro Taretto atas film pendeknya yang berjudul sama di tahun 2005. Gaya semacam recycle inilah yang kemudian diulang Taretto di tahun ini dengan Las Insoladas. Sidewalls secara garis besar menceritakan dua kehidupan yakni Martin (Javier Drolas) dan Mariana (Pilar Lopez de Ayala). Ringkasnya film berdurasi 95 menit ini menyuguhkan kisah Martin dan Mariana yang senasib sepergalauan di tengah kehidupan shoeboxes-nya yang muram.
Martin yang dikungkung sepi dalam apartemennya dan hanya sibuk dengan dunia mayanya sejak sepuluh tahun lalu. Martin divonis psikiater menderita semacam phobia dan mudah panik. Sehingga ia menghabiskan waktu hampir setahun belakangan dengan hanya hidup di dalam apartemennya. Sampai psikiaternya menyarankan agar ia memulai melakukan kegiatan berjalan-jalan sembari memotret segala fenomena di kota Buenos Aires sebagai jalan penyembuhan.


Adapun Mariana seorang gadis cantik yang lulus dari jurusan arsitektur, tetapi mendaku belum pernah merancang gedung apapun. Mariana justru sudah hampir dua tahun bekerja sebagai shopping window designer, hal mana dia mempersiapkan dan mendesain tampilan jendela tempat para manekin berpose. Baik Martin dan Mariana sama sama memiliki kesamaan dalam hal kebosanan dan kesepian. Sama-sama gagal dalam percintaan, yakni Martin yang ‘LDR’ dengan jaminan mengurus anjing pacarnya, sedangkan Mariana baru saja putus dari hubungan yang empat tahun lamanya. Sampai kemudian mereka bertemu dengan ajaibnya. Lantas apakah cinta itu sebegitu mujurnya?
Baiklah! Katakanlah konteks Martin dan Mariana itu selaku pencarian identitas di tengah kehidupan hiper-urban Buenos Aires. Maka, saya mengimani bahwasanya cinta itu sendiri merupakan persoalan identitas. Terutama ketika cinta sendiri menjawab masalah eksistensi manusia yang paling penting menyangkut keterhubungan maupun keterpisahan.[1]
Identitas mestinya telah kita yakini tak lebih dari hasil kontsruksi sosial. Lalu apa yang harus dilakukan terhadap konstruksi sosial tersebut? Sanggupkah kita menciptakan citra identitas diri kita, di luar konstruksi sosial? Jika jawabannya tidak, maka sanggupkah cinta merefleksikan identitas manusia lepas dari konstruksi sosialnya? Jika sekali lagi tidak, maka cinta tetaplah tak bisa lepas dari konstruksi sosial. Lalu konstruksi sosial macam apakah yang membentuk pertemuan ajaib cinta Martin dan Mariana?
Akhirnya eksistensi Martin dan Mariana dalam Sidewalls tidaklah sekedar kita hentikan sebagai fenomena empirik percintaan manusia hiper-urban semata. Tetapi bagaimana hiper-urban mengkontruksi manusia-manusia di dalamnya, termasuk cinta itu sendiri.
Adapun kesepian dan kegalauan Martin dan Mariana tidaklah melulu soal konsekuensi dari kehidupan hiper-urban. Hal mana ibarat pledoi “sapa suruh datang Jakarta?!” bagi para pendatang Jakarta yang sial dalam arus urbanisasi. Sehingga solusinya selalu toleransi dan introspeksi atau menyalahkan diri sendiri. Seolah tak ada yang salah dari sistem. Seolah tak ada yang menjadi penyebab. Seolah tak ada yang perlu dirubah. Seolah kondisi itu bukanlah konstruksi sosial. Lalu, cukupkah cinta menenangkan ketidakberdayaan Martin dan Mariana di Buenos Aires?

dua
Saya semakin kaget. Bersamaan penampakan kredit titel, kita disuguhi selipan sequel happy ending Martin dan Mariana bermesraan jua berbahagia. Seolah memang telah ditakdirkan bertemu oleh sebab kesamaan dalam pergalauan. Seakan ingin memberi pesan pada kita bahwa Martin dan Mariana berhak berbahagia di tengah kehidupan Buenos Aires yang meng-alienasi keduanya sekalipun. Hebatnya bahagia di sini sama sekali tanpa merubah konstruksi sosial apapun, tetapi cukup dengan membuat jendela dengan membongkar tembok ‘sidewall/medianera’ apartemen demi mencipta jendela baru dan menjemput dewi fortuna cinta. Begitu sederhanakah habitat cinta di kota Buenos Aires?
 Tidak aneh kalau penonton berkesimpulan bahwa mencari cinta, cukuplah lewat pergulatan diri, dengan usaha toleransi dan memaklumi segala kenyataan sebagai upaya survive. Ironisnya lagi jika si penonton meyakini bahwa sesulit dan segalau apapun kehidupanmu, maka bikin jendela baru di apartemenmu, maka cinta akan menjemputmu.
Lantas bagaimana dengan mereka yang tak sanggup membeli apartemen? Jika begini, apakah berarti tak ada cinta bagi mereka yang hidup di kolong jembatan? Tak adakah cinta bagi mereka yang miskin dan tinggal di rumah-rumah biasa? Atau pula tak adakah cinta buat kalangan homeless, buat mereka yang tinggal di kawasan slum, dan mereka yang pengangguran? Lewat film ini, seolah taretto berpesan bahwa cinta sejati hanyalah mereka yang tahu caranya melubangi medianera buat ketemu jodohnya?!
Mungkin pertanyaan saya di atas terlalu memaksakan segala realitas terwakili dalam sebuah film. Tetapi apakah salah ketika penonton menghakimi sebuah film? Yang pasti kerinduan saya pada sinema romantik ternyata terkabulkan. Sayangnya saya terlanjur gagu dan cemburu, sebab saya saja tak mampu membeli apartemen, boro-boro mau melubangi tembok untuk sebuah jendela. Akhirnya menonton Sidewalls adalah menyaksikan cerita galau sepasang manusia kelas menengah perkotaan.
Kendati demikian, film ini justru memperingatkan saya pada kegelisahan hidup di kota. Sebab mekanisme ruang kota telah dipahami dalam gerak kapitalisme. Yakni ketika ruang dan bentuk kota ditentukan oleh mereka yang bermodal. Dalam film ini, pemukiman manusia Buenos Aires benar-benar tampak dibentuk oleh para pemodal apartemen. Pada akhirnya, menjadikan kota sebagai ajang fenomena kelas lengkap dengan dampak kesenjangan sosialnya antara kaya dan miskin. Padahal semestinya kota harus dimiliki oleh semua kelas sosial.[2]

tiga
Saya ingin kembali ke Jogja saja, kota yang lebih nyata di depan kita. Kalau anda lewat jembatan kewek, arah malioboro. Entah masih ada atau tidak, anda akan menemui papan baleho besar yang bertuliskan “Terima kasih jogja, Apartemen dan Condotel Sold Out”. Pertanyaannya, terima kasih pada siapakah? Bukankah itu hanya tertuju pada mereka yang sanggup membeli apartemen dan kemungkinan bergaya hidup jetset! Dan parahnya baleho besar itu menggantung di atas rumah-rumah orang biasa yang dimungkinkan tak mengenal apartemen![3]
Sekali lagi. Belum lama ini saya menemui papan baleho iklan semacam itu, di dekat bundaran UGM, yang mana bertuliskan “1 apartemen = 100 Pohon”. Tampaknya dapat ditafsir jika anda membeli apartemen, maka anda menyelamatkan atau menanam 100 pohon bagi hijaunya bumi ini. Lantas bagaimana jika semua orang ingin apartemen dengan iming-iming kebajikan semacam itu? Tentunya pengusaha dan pemodal properti akan tergoda untuk menyulap segala lahan menjadi apartemen. Lantas dimana 100 pohon itu akan tumbuh? Bukankah baru-baru ini warga Karangwuni melakukan demo penolakan apartemen dan hotel, yang salah satunya dipastikan menyedot persediaan air tanah bagi warga, sehingga sumur warga akan mengering.[4]
Dahulu ada yang mengkritik pembangunan kota Jogja yang mengandung aspirasi feodal-agraris,[5] tetapi kini jogja telah begitu kentara pembangunan capital-oriented-nya. Selamatkah cinta kita di kota semacam ini? Saya serahkan jawabnya pada cuplikan lirik lagu:
“Tiada lagi yang tersisa dari rindu kita / Mimpi tentang rumah kita kehilangan tidurnya / Kosakata kota ragu terbata-bata...
Katakanlah padaku / Dimanakah hangat pelukmu / Pohon-pohon lupa kemana ia dilahirkan / Langkah-langkah kaki tersesat dalam keramaian / Kenangan-kenangan terhempas asap kendaraan / Tiada lagi yang tersisa dari rindu kita”[6]



[1] Erich Fromm, The Art of Loving (New York: Harper & Row, 1956), page. 7.
[2] David Harvey, Rebel Cities: From The Right To The City To The Urban Revolution (New York: Verso Book, 2012). Review ringkas misalnya periksa http://etnohistori.org/rebel-cities-kota-sebagai-pusat-ketidakpuasan-politik-ulasan-buku-oleh-hatib-abdul-kadir.html
[3] Analisa cerdas dan menarik ini saya kutip dari tulisan Mohammad Hadid, telusuri http://literasi.co/Terima-Kasih-Jogja
[4] Baca http://literasi.co/Bahaya.Sumur.Kering.Warga.Karangwuni.Tolak.Apartemen
[5] W. S. Rendra, “Kota Kasur Tua”. (dlm), Prisma, No. 6, Juni 1980, Tahun VII, hlm 47-49.
[6] Lagu dari Jalan Pulang, berjudul “Di Kota Ini Tak Ada Kamu Lagi”. Lagu ini sendiri sejatinya merupakan kerjasama band Jalan Pulang dengan ‘Komunitas Kota Untuk Manusia’ mengenai permasalah Kota Yogyakarta.

Minggu, 13 Oktober 2013

Sedikit membandingkan India dengan Indonesia

(Artikel ini merupakan review singkat dalam sebuah kuliah Historiografi)

India dan Indonesia sebagai sebuah negara post-kolonial agaknya memiliki kepentingan yang sama dalam hal penciptaan narasi sejarah yang memadai, terutama sebagai sejarah nasional. Sebagaimana dikemukakan oleh Dr R. C. Majumdar dalam artikelnya, mengenai komentar Sir Jadunath Sakar -seorang tokoh sejarawan modern india- perihal sejarah nasional. Sir Jadunath Sakar menekankan arti penting sejarah nasional yang tak semata-mata hanya memilah-milah kebaikan sembari menyembunyikan keburukan ataupun seperti yang dikatakan Mohammad Ali dalam Pengantar Sejarah Indonesia sebagai menggosok-gosok kejayaan masa lalu. Menurut Jadunath lebih penting untuk bagaimana menampilkan sejarah secara menyeluruh. Senada halnya dengan Sartono Kartodirdjo yang menekankan arti penting sejarah nasional Indonesia untuk dikaji secara neo-scientific sehingga memaklumi adanya multidisiplin prespektif terkait pendapat Sartono tentang terbentuknya nation-state Indonesia atas dasar interdependency dalam proses historis.
Majumdar juga menceritakan perkembangan mulai dari Konferensi Oriental All-India di Poona pada tahun 1919 yang dipimpin oleh sesepuh sejarawan India, Sir Bhandarkar sampai pada pembentukan Kongres Sejarah India pada tahun 1937. Kongres Sejarah India pada awalnya ditujukan untuk melengkapi Konferensi Oriental dengan membatasi kegiatannya kepada Sejarah Modern, namun pada perkembangannya berhasil mengumpulkan para ahli sejarah generasi perdana untuk fokus dalam mengkaji arah historiografi India lebih baik. Majumdar juga mengemukakan bahwa pembentukan Lembaga Studi Sejarah di India baru didirikan pada tahun 1961, sebagai sebuah pencapaian dari proses yang berawal dari Konferensi Oriental All-India tahun 1919 tersebut. Lembaga Studi Sejarah India sendiri memiliki kegiatan rutin semacam kongres sejarah yang diimbangi dengan agenda rapat pembahasan. Rapat pembahasan sendiri berlangsung hampir dua puluh kali dalam setahun dengan mengundang berbagai intelektual seluruh india. Adapun agenda lain seperti mengeluarkan jurnal triwulanan yang tidak hanya berisi artikel ilmiah, tetapi juga informasi yang beragam tentang penelitian sejarah di Universitas maupun Pusat Penelitian yang berbeda. Selain itu, India juga memiliki badan khusus yang mengupayakan perpustakaan yang baik dan Jasa Biro Riset untuk membantu pekerja riset sejarah baik di India maupun di luar negeri.
Di negara kita, Indonesia, seminar sejarah nasional pertama kali berlangsung tahun 1957 di Yogyakarta, terdapat tokoh-tokoh seperti Sudjatmoko, Mohammad Yamin, Sartono Kartodirdjo, Mohamad Ali dsb mewakili intelektual untuk memufakatkan konsep dan arah serta memperbaiki kekurangan historiografi Indonesia. Pembahasan persoalan landasan filsafat dalam seminar tahun 1957 menuai beberapa kesepakatan penting, sampai di kemudian hari dengan mempersoalkan sejarah lokal dalam seminar sejarah nasional tahun 1970. Agenda penerbitan jurnal agaknya juga berlaku di Indonesia termasuk adanya ANRI sebagai pusat arsip nasional, lembaga arsip di daerah, Perpustakaan Nasional dengan koleksi buku dan arsipnya dsb. Beruntung pula pihak kolonial Belanda di era ini berkemauan untuk membantu perkembangan penulisan sejarah terbukti dengan hadirnya KITLV dan berbagai proyek kerjasama penelitian di perguruan tinggi semisal Universitas Leiden dengan UGM, walaupun hari ini dan ke depan sepertinya generasi muda para pengajar di UGM cenderung lulusan Belanda melulu (Leiden dan Amsterdam). Kondisi ini berbeda dengan kurang lebih tiga windu yang lalu dengan adanya beragam lulusan, waktu Pak Sartono masih gesang yang jelas lulusan Yale, Kuntowijoyo dengan tradisi amerika lulusan Connecticut, Pak Djoko Suryo lulusan Monash, Australia dsb. Hari inipun kalau ada doktoral yang aktif mengajar dan bukan Belanda, paling hanya Pak Bambang yang eksodus SOAS, London, Pak Djoko Suryo lulusan Monash Australia, Pak Sudarsono, Pak Suhartono dan Pak Djoko Soekiman lulusan UGM. Selain Pak Bambang sendiri -yang sudah usia 50-an-, mereka bisa dibilang terlalu sepuh. Semoga saja ke depan ada saja pengajar muda yang lulusan Amerika, Inggris atau bahkan Perancis yang belum pernah ada di jurusan sejarah UGM supaya beragam tradisi keilmuan dan pengalaman. Ini menurut saya yang hanya mahasiswa sejarah biasa.
Selain itu dapat pula dimasukkan sebagai bentuk kemajuan dengan terbentuknya organisasi semisal Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI) yang juga sempat menerbitkan jurnal yang memuat tulisan para sejarawan di Indonesia. Sayangnya menurut saya, keberadaan MSI hari ini kurang jelas terbukti dengan terbitan jurnal yang sepertinya mandek, apalagi di tataran mahasiswa sejarah di indonesia dengan adanya Ikahimsi yang lebih tidak jelas lagi rimbanya dengan agenda pergantian pengurus melulu, kalaupun dapat disyukuri beberapa waktu yang lalu berhasil menerbitkan majalah, tetapi lagi-lagi ada saja atmosfer kepentingan yang saya tak bisa menjelaskan sepenuhnya di sini. Entahlah di India sana. Parahnya lagi, antara Indonesia dengan india memiliki kesamaan tak hanya dalam upaya meningkatkan kinerja penulisan sejarah tetapi juga dalam hal penyelewengan sejarah. Untuk India misalnya, Dr R. C. Majumdar menyinggung akan adanya pemanfaatan sejarah oleh pemerintah untuk tujuan integrasi nasional dengan melewatkan fakta-fakta yang dianggap merusak tujuan negara, alhasil pemerintah menseleksi hanya narasi yang sesuai dengan kepentingan integrasi nasional semata tanpa menyadari adanya perbedaan semisal sedikit dicontohkan Majumdar seperti non-Hindu yang terpisah dari kebudayaan Islam dsb. Sebagaimana di Indonesia kita mengenal orde baru yang menghadirkan sejarah nasional Indonesia dengan sengaja menutup-nutupi fakta ataupun realitas yang dianggap tak sesuai dengan haluan pancasila ala orba. Hal mana cenderung menuliskan sejarah dalam satu penilaian dan prespektif atau dimensi, yakni dimensi militeristik, anti-PKI, Soeharto dan orbasentris dsb. Syukurlah hari ini pasca lengsernya orba muncul berbagai perkembangan mutakhir yang positif dengan upaya memperbaiki kesalahan historiografis era orba.
Kasus Indonesia dan India menunjukkan adanya penyelewengan yang cenderung meletakkan sejarah sebagai alat politik melalui klaim negara. Kita berharap semoga historiografi Indonesia mampu mengalami perkembangan pesat yang menuju pada paradigma historiografi yang lepas dari kepentingan pragmatis namun tendensius ilmiah, hal mana sejarah menerangkan dengan beragam dimensi dan prespektif termasuk beragam aktor, tak hanya petani yang memberontak atau bandit yang berjasa. Juga semoga historiografi Indonesia tak berhenti di menara gading para akademisi perguruan tinggi, maupun semoga tak ada kesombongan para akademisi perguruan tinggi yang mengklaim seolah hanya tulisan sejarahnya yang layak disebut tulisan sejarah yang baik, yang ilmiah. Karena historiografi semestinya tak elitis, sebagaimana pesan Pak Kuntowijoyo, bahwa “siapapun berhak menjadi sejarawan”.


Minggu, 21 Juli 2013

Menyinggung Budaya Tanding

(petikan selebaran ringan yang saya ajukan dalam diskusi tema Histma)

“popular culture, especially, is organized around the contradiction: the popular forces versus the power-bloc”[1]
Sejarah sebagai ilmu empiris sangat didesak untuk memberikan penjelasan bagi masa depan. Hal ini terkait dengan relevansi perubahan (change) dan keberlanjutan (continuity) dalam dinamika masyarakat yang sanggup menguak arah pembangunan. Saya tidak ingin berbicara mengenai konsep-konsep developmentalisme baik yang populis maupun alternatif apalagi dalam sejarah kita. Hanya saja, lanskap pembangunan seringkali kita pahami sebagai pencapaian teknologis semata. Seolah-olah modernitas pun dianggap sebagai gaung bermulanya pembangunan yang berbasis kemajuan teknokratis. Kalaupun asumsi tersebut terlalu provokatif, toh pada kenyataannya banyak yang gelagapan menjabarkan letak kebudayaan dalam ide pembangunan. Saya berhenti dulu. Repot kalau nanti saya dikira maniak orde baru. Apalagi dikira ingin mengulang kembali ide Soedjatmoko tentang pembangunan kebudayaan. Baik. Kita renungkan sebentar!
==========================================================
Kalau berbicara tentang masyarakat agraris kita dulu. Kita akan merasa akrab dengan gaya masyarakat yang membedakan diri antara kalangan elit dan kalangan rakyat (tanpa bermaksud meniadakan kelas menengah lho). Atau antara priyayi dengan kawulo alias wong cilik. Contoh soal, Tahun 1910, Ciptomangunkusumo melintasi alun-alun Surakarta dengan bendi (semacam delman, dokar, andong), ia dianggap lancang. Cara itu dianggap khusus bagi kalangan bangsawan dan terlarang bagi masyarakat kebanyakan. Bahkan Ciptomangunkusumo dianggap mbalelo kekuasaan raja. Berbeda ketika sang raja Surakarta menurunkan wayang wong untuk ditonton secara umum di lapangan Sriwedari, -yang sejatinya menjadi bagian dari budaya massa kalangan kawulo-. Hal itu dianggap sama sekali tak menghilangkan kewibawaan sang raja. Di sisi lain keberadaan Tarian Tayub yang dianggap mempengaruhi Gambyong-nya Keraton, maupun permainan Nini Thowok yang berasal dari desa berhasil legal di kraton. Bagitu juga cerita Jaka Tarub yang berasal dari tradisi lisan lokal, dimasukkan dalam babad tradisi kraton.[2] Ini mencerminkan perjumpaan antara fenomena elitisasi budaya rakyat, dengan massifikasi budaya elit. Piye jal?
 Lalu apa itu budaya massa? Apakah sama dengan Budaya Populer atau Pop Culture? Baiklah. Jawabannya sama! Katakanlah kita terima bahwa massa berarti populer. Lalu kita masih bingung. Binatang apa itu pop culture? Pop memang berarti populer. Dalam keseharian sesuatu yang berbau populer sering dientengkan, kolokan, pasaran. Bahkan budaya populer cenderung dipandang sebagai penyimpangan dari pola-pola kebudayaan, prematur, sehingga dituntut untuk dikembangkan agar mencapai tingkat kebudayaan yang semestinya, yakni kebudayaan yang utama, yang tinggi. Padahal budaya massa ini bukanlah masalah normatif (baik atawa buruk) tetapi lebih kepada alternatif yang membedakan diri dari budaya yang telah mapan.[3] Budaya massa sebagai akibat dari proses massifikasi atau pemopuleran berkelit kelindan dengan adanya industrialisasi dan komersialisasi dalam sektor kebudayaan, walaupun keduanya tidak selalu berarti negatif bagi kebudayaan itu sendiri.[4] Menariknya kegairahan budaya massa ini sendiri cenderung mengarah pada bagaimana produknya berkomunikasi dan beraktivitas daripada penghargaan kritis dari masyarakat luas, sehingga di sisi lain ia menampakkan gejala kemassifannya sekaligus kesesaatannya.[5] Akibatnya sebagai produk, orientasinya sangat bergantung pada konsumsi massa. Hal ini memungkinkan produktifitasnya tak hanya pada penawaran mengikuti permintaan, namun juga volume permintaan bisa disesuaikan dengan besarnya penawaran. Terlebih dengan sokongan tehnik promosi dan kiat iklan.[6] Sejalan dengan yang diungkapkan Jean Baudrillard, bahwa hari ini orang membeli suatu produk bukan atas dasar kegunaan esensialnya, tetapi lebih kepada citra dan makna yang didapat dari pemakaian produk tersebut. Juga akibat dikompori oleh iklan yang menjurus pada kultus merek sampai kecerdasan industry menangkap trend untuk menggaet konsumen sebagaimana kasus jeans robek dalam jeans-isasi di Amerika.[7] Stop! Pusing saya! Istirahat!
Kalau sudah begini, apa fungsi budaya massa? Semestinya kita kembali pada aspirasi alternatif termasuk perlawanan atas kemapanan budaya tinggi yang sering dipertahankan, walau jelas terbukti merugikan (contoh soal, tradisi feodal hierarkis). Saya ingin menghentikan bahasan ini pada prospek kesejarahan kita sebagai dasar otentik dalam mengarahkan pembagunan budaya kita di masa depan. Khususnya realitas budaya massa sebagai budaya tanding di dalam masa silam sebagai asas pengembangan! Pertemuan lalu saya berbicara mengenai bahasa prokem, sebagai bentuk ekspresi massa generasi muda yang membedakan diri dengan bahasa mapan. Sekaligus akibat anggapan akan ketidakmampuan bahasa sebelumnya menanggapi aspirasi kaum muda, sehingga mereka menciptakan istilah baru. Misalnya untuk ayah jadi bokap, ibu jadi nyokap.[8] Hal ini berbeda tiap daerah. Di jogja pisu untuk ibu, sahan untuk bapak. Bahasa prokem bahkan berbeda tiap kelompok tertentu seperti kaum homo dan banci yang punya istilah lain, semisal repot jadi rempong, lelaki jadi lekong, mesra jadi mesrong dsb. Semua saya akumulasikan dalam tema budaya tanding!




[1] Stuart Hall, Note on Deconstructing the Popular, (1981).
[2] Kasus-kasus ini saya adaptasi dari Kuntowijoyo, Budaya Elite dan Budaya Massa (dlm), Idi Subandi Ibrahim (editor),  “Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia” (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), hlm. 9.
[3] Ignas Kleden, Kebudayaan Pop: Kritik dan Pengakuan (dlm), Prisma, No.5, Tahun XVI, Mei, 1987, hlm. 3.
[4] Kuntowijoyo, Ibid, hlm. 11.
[5] Ignas Kleden, Ibid, hlm. 4-5.
[6] Ibid, hlm. 5-6.
[7] John Fiske, Memahami Budaya Populer (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), hlm. 1-24.
[8] Lihat penjelasan tentang bahasa prokem secara inguistik dalam Henri Chambert-Loir, Mereka yang berbahasa Prokem (dlm), “Citra Masyarakat Indonesia” (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), hlm. 112-130.

Menakar Kekerasan Dalam Sejarah Kita

(Narasi singkat ini adalah pemantik dalam diskusi penjaringan tulisan jurnal Histma edisi kekerasan beberapa waktu lalu)

Dalam historiografi Indonesia, kekerasan menjadi fenomena yang akrab mewarnai kajiannya. Sayangnya mainstream kajian sejarah kekerasan masih dipenuhi nuansa-nuansa pemberontakan, perbanditan dan kriminalitas semata. Psikoanalis terkemuka, Sigmund Freud menilai bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk bersikap agresif dalam hal mengungkapkan cinta atau mempertahankan kesatuan-kesatuan yang serasi. Namun, sebaliknya manusia juga berpotensi berlaku agresif dalam hal menceraiberaikan, merusak dan menghancurkan keutuhan (destruktif). Perilaku yang cenderung menghancurkan semua obyek yang tidak disukai merupakan wujud dari ego membenci.[1] Erich Fromm sendiri berpendapat bahwa tindak kekerasan dipengaruhi baik dari dalam diri manusia sendiri maupun akibat pengaruh lingkungan atau kondisi eksternal. Keduanya menstimulasi manusia dalam bertindak kekerasan. Selain itu Eric Fromm juga membedakan antara sikap kekerasan yang berasal dari adaptive destructiveness dan non-adaptive destructiveness. Istilah yang pertama merujuk pada tindakan merusak yang dipicu keinginan untuk bertahan hidup, sedang yang kedua justru sebaliknya, merupakan nafsu merusak tak terkendalikan yang melanggar tujuan etis mempertahankan dan menyelamatkan kehidupan.[2] Lalu apakah bentuk perusakan dan kekerasan melulu berupa kontak fisik? Dan bagaimana bentuk kekerasan dalam sejarah Indonesia? Bagaimana proses perubahannya? Sejarahlah yang semestinya menjelaskan dinamika dalam waktu yang panjang (diakronis), tanpa menutup kemungkinan bahasan yang meluas (singkronis).
Fenomena kekerasan dalam wacana kekinian memang masih sangat segar dari ingatan. Baik yang menyangkut kriminalitas, premanisme, kekerasan antar agama, kekerasan sektarian, kekerasan terhadap minoritas marginal dan masih banyak lagi. Rupa-rupanya hal semacam itu telah banyak terjadi di masa silam. Misalnya, semenjak kasus 11 september 2001, dengan runtuhnya gedung WTC, jagad mulai "dicekoki" istilah terorisme. Media dimana-mana mulai menggemborkan istilah terorisme, seolah dari dulu belum pernah ada. Padahal di masa Orde Baru yang dibilang aman, justru telah terjadi percobaan pengeboman Borobudur, menariknya saat itu istilah terorisme belum ada, yang ada hanya pengacau atau gerakan pengacau keamanan.[3] Hampir sama. Kasus terorisme di Indonesia selalu dikaitkan kemunculannya dengan Bom Bali, sampai kemudian agama islam dianggap sebagai ideologi yang dekat dengan kekerasan. Negara mulai mencurigai jamaah-jamaah islam di Indonesia yang dianggap berkaitan dengan jaringan (terorisme) internasional Al-Qaeda. Entah mengapa, kita dibuat (dipaksa) takut dengan Al-Qaeda dan berbagai jamaah pengajian. Ini mengingatkan kita pada akhir abad 19. Hal mana dengan munculnya berbagai upaya resistensi terhadap kolonialisme yang digawangi oleh Kyai dan Ulama, Islam kemudian ditakuti oleh pemerintah Kolonial sebagai ajaran yang mengajarkan pemberontakan dan pembuat kerusuhan atau mengancam eksistensi Negara.[4] Ini baru satu contoh kasus komparatif antara masa kini dan masa lalu. Dan ini baru satu agama, belum agama lain. Kalau memang kita sempat melabelkan salah satu agama dengan kekerasan tertentu, sehingga menggangap doktrin agama sebagai akar kekerasan, bukankah ada faktor secara sosial, ekonomis dan politik yang melatari? Lalu, bukankah nasionalisme (tak kurang terkait pula Nazisme, Zionisme, Rasisme) merupakan doktrin paling hebat dalam melegalkan peperangan antar negara yang menyebabkan berjuta-juta nyawa terbunuh? Bukankah kita sudah kapok dengan pembunuhan besar-besaran oleh negara (Naiknya Orde Baru) terhadap mereka yang dituduh PKI?
Kegandrungan kita atas bahasan kekerasan hari ini sangat dipengaruhi oleh media. Mengingat konsepsi kejahatan maupun kekerasan dibentuk dan disebarluaskan di dalam segmen-segmen masyarakat melalui pelbagai sarana komunikasi.[5] Seperti Koran, Radio, Televisi, Media On-Line dsb. Dalam film-film yang ditayangkan oleh TVRI antara tahun 1969-1981 menyuguhkan tokoh-tokoh hero yang membunuh dan menumpas kejahatan sebagai acara hiburan di televisi.[6] Ini baru contoh kecil tentang bagaimana kematian (kriminalis) sebagai sebuah hiburan dalam media televisi, belum media yang lain yang dapat disebut menyuguhkan kekerasan dan menyebarluaskan kekerasan bahkan sering mengakibatkan pendangkalan makna kekerasan, sehingga kekerasan dianggap kebajikan, asalkan melawan musuh. Pertanyaanya, bukankah yang namanya musuh itu relatif? Dan jelas masalah perspektif? Bagaimana jika yang dinarasikan sebagai musuh adalah sebenarnya pihak yang justru teraniaya, tetapi ia tidak mendapat tempat dalam negara, dan negara melegalkan sang eksekutor untuk melakukan pembantaian terhadapnya. Misalnya kasus petrus di masa orde baru atau mungkin semcam itu di masa kolonial. Belum lagi media-media yang berada di bawah Negara akan memberitakan pembenaran kekerasan ini sebagai kabar baik. Respon masyarakat pun berubah terhadap kekerasan. Selama Negara ada di atasnya, maka kekerasan harus dibenarkan.
Dalam menyangkut relasi gender misalnya, kasus kekerasan terhadap wanita sering mencuat, lalu bagaimana di masa lalu? Apakah tak ada kemungkinan sebaliknya? Bagaimana realitas kekerasan dalam rumah tangga di masa kolonial? Lain Lagi. Soal kerusuhan anti-Tionghoa tahun 1997 di Jakarta misalnya, sebagai minoritas marginal, Tionghoa mengalami nasib sial. Lalu bagaimana di daerah lain, Tionghoa Lasem misalnya, apakah merek bernasih sama di waktu yang sama? Pertanyan-pertanyaan ini hanya usaha memancing penasaran. Agaknya Kekerasan telah lepas dari pengertiannya yang klasik, sehingga ia mencapai pada taraf yang lebih kasat mata. Misalnya kejahatan Kapitalisme, yang mana secara sadar melahirkan penumpukkan kekayaan yang berakibat pada disparitas masyarakat. Misalnya Rumah Sakit yang kapitalistik, tentu enggan mengurus pasien yang miskin. Bahkan rumah sakit dan industri pengobatan ditengarai melakukan pendisiplinan tubuh si sakit dalam apa yang disebut Michel Faucault sebagai medikanisasi.
Contoh lain. Dalam seni ludruk, yang dianggap kekerasan verbal dalam seni, justru memuat kontrol rakyat terhadap kuasa.[7] Contoh lain. Lembaga yang katanya membela yang teraniaya misalnya, seperti Kontras hari ini. Kontras berteriak-teriak ketika kasus yang beberapa pekan lalu melibatkan Kopassus terhadap preman di dalam penjara. Mungkin tindakan Kontras bisa dibenarkan beberapa hal, tetapi ketika delapan pemuda ditangkap secara paksa oleh Densus 88 di Klaten dan Sukoharjo tanpa kejelasan sehingga melanggar asas praduga tak bersalah, Kontras diam saja. Bagaimana kekerasan keadilan di masa lalu? Parahnya delapan pemuda tadi langsung dilabeli sebagai ‘terduga teroris’ hanya dengan beberapa buku agama sebagai barang bukti; Ironisnya, surat kabar tertua di yogyakarta, yakni ‘Kedaulatan Rakyat’ langsung saja menyebarkan di halaman surat kabarnya sebagai ‘diduga teroris’.[8] Bukankah ini termasuk kekerasan media? Bagaimana di masa lalu? Apakah kekerasan dalam pemberitaan ini hanya terjadi di masa sekarang saja? Bagaimana perbandingannya, perkembangannya dan perbedaanya? Beberapa waktu lalu, di parangkusumo sedang heboh mengenai perencanaan Pemkab Bantul untuk menggusur 150 rumah warga, dengan alasan berada dalam tanah sultan. Ini bukti kekerasan negara dalam sektor agraria. Bagitu banyak kasus kekerasan agraria di masa lalu yang masih berulang hingga saat ini. Di sisi lain sejarah menawarkan keunikan, tetapi sering memiliki pola yang berulang di masa kini. Sejarah di sini semestinya tampil sebagai hikmah bagi pembangunan masa depan. Narasi pendek dan ruwet ini hanya sekedar pemantik bagi penulisan dalam jurnal Histma edisi Kekerasan. Sekian.




[1] Erich Fromm, Akar Kekerasan: Analisis Sosio-Psikologis atas Watak Manusia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 674.
[2] Daniel Dhakidae, Manusia dan Kejahatan (dlm),  Prisma (No. 5, Mei 1982), hlm. 2.
[3] Ini menjadi salah satu bahasan menarik dalam diskusi HIstma yang sempat disampaikan oleh Satrio Dwi Cahyo.
[4] Lihat misalnya Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (Jakarta: Pustaka Jaya)
[5] Mulyana W. Kusumah, Realitas Sosial Kejahatan (dlm), Prisma (No. 5, Mei 1982), hlm. 6.
[6] Aswendo Atmowiloto, Di Film Seri TV-RI Kematian Kriminalis Sebagai Hiburan (dlm), “Prisma”, (No. 5, Mei 1982), hlm. 44.
[7] W.S. Rendra, Gerakan Mahasiswa dan Ludruk (dlm), “Mempertimbangkan Tradisi”, (Jakarta: Gramedia, 1984).
[8] George Junus Aditjondro, Agama bukan Akar Kekerasan Massa (dlm), “Jurnal INDOPROGRESS”, (Januari, 2011), hlm. 57-58.


Sabtu, 16 Maret 2013

Kemunculan Industrialisasi di Eropa: beberapa faktor dan dampaknya

(Artikel ini ditulis sebagai paper pembicara dalam acara seminar sejarah eropa, 15 maret 2013. @Ruang Multimedia, FIB, UGM)

Eropa sebagai entitas ekonomi amatlah kompleks. Beragam aktor, latar, iklim atau cuaca dan peristiwa bergulir dalam berbagai periode menggerakkan Continuity (keberlanjutan) dan Change (perubahan) dalam kurun sejarah. Sayangnya, diakibatkan pemahaman kita yang sering menyederhanakan sejarah manusia, baik itu sejarah indonesia, sejarah eropa maupun sejarah dunia secara keseluruhan ke dalam tabel-tabel sederhana yang hanya memuat tahun-tahun yang memang terkesan kronologis, namun sejatinya hal itu justru mengesankan sejarah dalam bentuk yang rigid (kaku). Demikianlah narasi pendek ini berupaya melawan pemahaman banal (dangkal) tersebut dengan penceritaan sejarah sebagai sebuah proses yang mendesak untuk dijelaskan, dipahami dan dimengerti dengan berbagai dimensi dan perspektif. Sedangkan dalam menjelaskan sejarah eropa dan asia sebagai sebuah relasi berikut ini, sengaja menelaah benang merah sejarah industrialisasi. Adapun kurang-lebihnya sebagai sebuah penilaian kami kembalikan kepada sidang pembaca, mengingat keterbatasan ruang dan waktu bagi penulis.

Awalnya Borjuasi, sampai kemudian industrialisasi Eropa Barat menggeliat
Mempelajari sejarah eropa, sangatlah mustahil meniadakan sosok Borjuasi. Secara sederhana kita mengenal dalam lanskap revolusi perancis sampai kepada revolusi industri yang sejatinya merupakan pencapaian dari aspirasi kaum borjuasi. Adapun pergeseran pasca berakhirnya zaman pertengahan menuju zaman modern diselingi oleh beberapa proses penting.
Pertama; ialah proses ‘reformasi’. Memuat reformasi terhadap peran sentral lembaga dan kredo Kristen yang melahirkan gerakan reformasi generasi pertama melalui tokohnya Martin Luther (1483-1546) dengan Protestanismenya, dilanjutkan gerakan reformasi generasi kedua yang diwakili oleh tokoh tokoh semisal Ulrich Zwingli (1484-1531), Martin Bucer (1491-1551) dan yang paling kondang adalah John Calvin (1509-1564) dengan Calvinisme-nya. Apa yang digagaskan Luther turut merubah cara pandang masyarakat eropa terhadap peran kependetaan dan bahkan cenderung membawa kepada individualisme. Calvinisme sendiri banyak diadaptasi oleh berbagai penjuru masyarakat eropa, seperti di Inggris mereka menamakan diri sebagai puritan, di Skotlandia mereka dikenal sebagai Prebyterian, sampai dibagian negara lain seperti Belanda, Perancis, Jerman, Polandia, dan Hungaria. Bahkan di Belanda, calvinisme mempengaruhi gerakan pemberontakan di tahun 1572. 
Kedua; proses ‘renaissance’ dan ‘humanisme’ melengkapi realitas abad pertengahan, semisal pemikiran Machiavelli tentang hakikat politik, lalu pandangan masyarakat italia utara misalnya turut mencita-citakan seorang gentlemen (identik dengan prilaku luhur, sangat menghormati dan menaruh perhatian terhadap kesusastraan, kesenian termasuk pula ilmu pengetahuan), daripada seorang chivalry (identik dengan budaya prajurit dekat dengan perkelahian ala hukum rimba, yang kuat yang menang). Renaissance dan Humanisme pada akhirnya membawa pandangan lebih kepada antroposentrisme atau memusatkan pada potensi manusia dalam menghadapi segala masalah di dunia daripada sekedar bergantung kepada doktrin lembaga keagamaan gereja. hal ini salah satu ragam pemikiran yang turut mewarnai abad 17-18 sampai menjelang kemunculan kelas borjuasi dibarengi dengan kekuatan modalnya yang turut meronrong kekuasaan absolut kerajaan feodal.
Proses tersebutlah yang turut memantik lahirnya modernitas kelak. Salah satu tonggak penting adalah Modernitas hadir dengan diawali dengan percik pemikiran mencapai klimaksnya dengan kemunculan paradigma industri sebagai suatu gaung kemajuan peri kehidupan umat manusia. Diantaranya dengan kolapsnya pola akumulasi kapital model gilda sebagai warisan abad pertengahan, secara gradual digantikan sistem semisal industri domestik. Sistem ekonomi pedesaan seigniorial maupun manorial mulai runtuh seiring dengan menguatnya perkotaan sebagai basis borjuasi sekaligus industri. Sistem Seignorial yang hampir meliputi lembaga sosial, politik dan ekonomi yang menguasai kehidupan para petani di eropa sepanjang zaman pertengahan. Pedesaan sebagai bagian terbawah dari hierarki feodal turut membawa kekayaan bagi pihak raja dan kalangan bangsawan di samping sistem manorial-nya yang lebih mendekati tata administratif penguasaan tanah (land) terkait pemajakan dan yuridiksi para land lord atau tuan tanah dan kaum bangsawan. Hal ini berbeda dengan hadirnya kelas pedagang yang banyak muncul di perkotaan, merekalah yang kelak menjadi cikal bakal borjuasi yang matang dengan konsepsi yang masyhur yakni kapitalisme termasuk pula sistem ekonomi liberal dengan Laissez Faire.[1] Kota selanjutnya muncul dan lebih mewakili keberadaan kelas menengah, bisnisman hingga para pedagang. Merekalah yang selama abad 17-18 sampai 19 merupakan kelas baru yang makin berkuasa yakni kelas borjuasi. Borjuasi muncul sebagai kekuatan baru, kekuatan kelas, ekonomi, sosial, politik dan mempunyai refleksi dan pengaruh terhadap kebudayaan dan pemikiran.[2]
Dalam melihat realitas borjuasi sendiri terdapat perbedaan antara inggris dengan perancis. Perancis yang secara umum banyak mewakili aspirasi eropa daratan memiliki keterlambatan. Sedangkan di Inggris misalnya terdapat percampuran antara gentry (tuan tanah) dengan kaum pedagang terjadi lebih cepat daripada Perancis, distingsi tersebut mewakili perbedaan mental borjuasi antara Inggris dengan perancis mewakili eropa daratan pada umumnya. Inggris secara politik lebih kepada aristokrasi sedangkan perancis cenderung monarki absolut. Kaum borjuasi perancis dan eropa daratan pada umumnya cenderung pada gerakan politik dengan hasilnya yang paling megah adalah revolusi perancis 1789 lewat sumbangsihnya meruntuhkan kedigdayaan raja dan kaum bangsawan sebagai pihak penganjur feodalisme digantikan keutamaan kelas borjuasi dalam memajukan masyarakat. Sedangkan di Inggris -sebagai sebuah kasus sejarah sosial yang berbeda dengan eropa daratan-, justru kaum borjuasilah yang membawa semangat perluasan dagang maupun industri dengan revolusi industri 1870-an sebagai pencapaian klimaksnya.[3]
Perlu dipahami pula bahwa revolusi industri sejatinya merupakan titik urgen dari suatu proses yang panjang yang berawal dari kemunculan kelas pedagang, menjadi borjuasi, mencapai posisi penting dalam masyarakat feudal, meruntuhkan feodalisme sampai penciptaan masyarakat industri. Akibatnya industrialisasi sering disebut sebagai bentuk evolusi mengingat perjalanannya yang panjang semenjak abad pertengahan.[4] Di inggris sendiri terdapat periode penting dari 1830-1870 yang merubah masyarakat agrikultur menuju industri komersial. Revolusi Industri yang pertamak kali terjadi di Inggris sendiri akhirnya menyebar di berbagai negara eropa daratan sebagai suatu tahapan fundamental dan untuk selanjutnya menyebar ke seluruh dunia.[5] Secara konsepsional revolusi industri memuat enam aspek penting diantaranya capital, labor, techniques, resources, transportation, and markets.[6] Revolusi Industri sampai gebrakan industrialisasinya menjadi mainstream masyarakat modern yang maju dalam ekonomi. Era revolusi industri mencontohkan transformasi di sektor produksi oleh dukungan penemuan teknologi di tahun 1870-an semenjak kesuksesan mesin uap sampai mesin pemintal katun di Inggris. Revolusi Industri menstigmakan perombakan dalam organisasi kerja yang memang dibarengi dengan penemuan teknologi ataupun cara-cara baru yang mana makin menyeret proses revolusi pada titik didihnya.[7]
Sebelumnya kehadioran revolusi industri diawali dengan eksistensi organisasi pertukangan sebagai embrio. Organisasi pertukangan yang dimaksud dapat dibagi dalam empat tahap; Pertama, tahap pertukangan rumahan; Kedua, Penyelundupan kaum pedagang ke dalam industri rumahan; Ketiga, Timbulnya ‘factory system’; Keempat, Tahap kerajaan mesin.[8] Teknologi produksi mengalami proliferasi di seluruh eropa bergandengan dengan aneksasi pasar dan kolonisasi. Inggris pada abad 15-17 mulai meraih keuntungan semenjak perdagangan wol dari bulu domba. Saat itu wol merupakan komoditas andalan. Namun di kemudian hari, kain wol mengalami keterpurukkan akibat pengorganisasian yang kolot dan amat terikat dengan monopoli kelas penguasa di samping yang paling utama adalah akibat wol yang dinilai terlalu berat sehingga tak praktis sebagai bahan sandang. Berbagai pergantian format melinkupi relasi antara masyarakat agraris dengan pola penguasaan tanah kaum feodal. Hingga revolusi inggris atau glorious revolution antara tahun 1688-1689, yang turut menempatkan parlemen di atas raja. Saat itulah era partai whig berkuasa yang kemudian mensponsori penjelajahan -termasuk penemuan amerika- dan kelak kolonialisme yang merebut Canada, India bahkan beberapa wilayah Timur-Tengah, Afrika dan Asia. Pantaslah Inggris diakui sebagai negara kolonial dengan wilayah jajahan terbesar. Sebelum revolusi industri sendiri banyak kerajaan eropa sengaja meningkatkan perekonomiannya dengan mengembangkan industri di bawah sistem ekonomi merkantilisme.[9] Keadaan Inggris menjelang abad 18 makin meningkatkan perekonomian terutama semenjak digemarinya kain katun, mulai diketemukan peralatan-peralatan untuk memintal secara cepat, tokoh penemu mesin pemintal seperti John Kay, John Wyatt sampai Hargreaves dengan temuannya pada tahun 1765 mesin pemintal katun dengan penyempurnaan daripada penemuan sebelumnya -dimana mampu memintal puluhan benang sekaligus-. Alat temuan Hargreaves dikenal dengan nama Spinnning Jenny. Kelak dengan semakin didukungnya perdagangan oleh kaum pemodal dengan orientasi produk yang maksimal, mesin tersebut makin termekanisasi dan dikembangkan melalui pemanfaatan tenaga alam seperti air dsb. Selanjutnya negeri-negeri jajahan menjadi sasaran pemasaran produk kain katun dari inggris. Kesuksesan kain Katun pun disusul dalam tempo yang hampir bersamaan oleh besi, lewat terobosan peleburan besi hingga meningkatkan kemampuan memenuhi kebutuhan peralatan yang memerlukan bahan besi, misalnya senjata, peluru meriam sampai mesin mesin. Baru pada tahun 1856 di Jerman, seorang tokoh bernama Bessemer berhasil menciptakan proses pembuatan baja; disusul oleh Siemens pada tahun 1867. Untuk Inggris baru pada tahun 1878 Gilschrist serta Thomas berhasil melakukannya. Hal ini sejalan dengan kesuksesan Mesin Uap oleh tokoh semisal Newcomen di tahun 1712 dan yang paling masyhur James Watt di tahun 1780. Menariknya menurut Van der Meulen, sebenarnya terdapat tokoh yang lebih mempengaruhi mesin uap modern memodifikasi mesin uap di masa modern yakni Hornblower, namun sayang namanya kalah terkenal dengan James Watt.[10] Masih sejalan dengan itu, terjadi perubahan dalam proses penambangan batubara, apalagi semenjak ditemukannya lokomotif semisal Rocket yang ditemukan George Stephenson pada tahun 1829. Kereta Api semakin disempurnakan dan berbagai perkapalan dimodifikasi dengan tenaga uap, semakin meningkatkan kemajuan transportasi dan pengangkutan. Terbukti di tahun 1865 penghasilan penambangan batubara telah mencapai 100 juta ton. Suksesnya pembuatan jalan kereta api pertama dibangun untuk umum adalah jalur dari Stockton ke Darlington dan dari Machester ke Liverpool. Peningkatan jalur kereta api sampai tahun 1860 turut membawa banyak perubahan. Sebagai perbandingan mnisalnya terkait perbedaan percepatan pembangunan adalah pada tahun 1848, perancis baru mengelola 16900 km rel kereta api, sedangkan Inggris telah mencapai 6450 km. Adapun jalur pelayaran dengan dibukanya Terusan Suez turut mempermudah perdagangan dan pemasaran barang maupun kolonialisme.

Dari persoalan Buruh sampailah pada Proyek kolonialisme…
 Akibat penemuan teknologis, sebagaimana disinggung sebelumnya, posisi kelas pekerja semakin didesak. Hal ini menyebabkan kerugian bagi pihak buruh atau kaum yang terlanjur terikat kehidupannya oleh industry-industri yang dikuasai para pemodal atau borjuasi maupun mantan bangsawan yang mengembangkan usaha. Kehadiran kelas pekerja atau buruh yang semakin massif seketika kepemilikan alat produksi jatuh pada kapitalis, termasuk mantan bangsawan yang bergabung dengan borjuasi. Konsep ‘keterasingan’ atau alienasi kelas pekerja akan barang produksi maupun ‘pekerjaan upahan yang mengasingkan’ sehingga bekerja hanya demi upah ala marxis menjadi salah satu bukti subordinasi kapitalis terhadap buruh industri.[11] Ironisnya, para buruh juga mengalami deskilling akibat ketergantungan terhadap teknologi, sehingga buruh yang sejatinya sebagai seorang artisan[12] dalam arti pekerja yang menguasai pembuatan barang secara keseluruhan dari awal sampai akhir karena keahliannya, menjadi terbatas dan memiliki ketergantungan kepada teknologi. Disusul hasrat mass production sebagai kredo industri modern turut mengkalkulasi dan mengatur seluruh kehidupan buruh untuk dimaksimalkan dalam kinerja produksi semisal konsep taylorisme. Perihal tersebut sangat menentukan standar hidup di masa revolusi industry,[13] maupun masa industrialisasi besar-besaran dgandeng kolonialisme dan imperialism di abad 19-20.
Di tahun 1816, disusul 1822 dan 1830, terjadi perusakkan mesin tebah yang digunakan untuk memproduksi roti, hal mana terjadi ketika krisis harga roti naik. Di lain pihak juga terdapat perusakan mesin oleh kaum Luddit di tahun 1811-1812 sampai kepada pemogokan dan demonstrasi besar-besaran di tahun 1816, 1818, 1819 yang dikenal sebagai Peterloo Massacre di Manchester yang notabene sebagai kota pusat industri yang tentunya pusat buruh pula. Salah satu gerakan yang paling penting saat itu adalah Chartist Movement (1837-1848) yang disebabkan kekecewaan kaum buruh terhadap hasil Reform Bill di tahun 1832 maupunh Poor Law Act di tahun 1834. Kondisi buruh pada abad 19 sendiri semenjak hadirnya industri industri besar di perkotaan amatlah menyengsarakan. Perancis sendiri pada awal abad 19 rakyatnya terdiri dari petani, jadi kondisi pedesaan sendiri masih menyerupai perncis kuno, mereka tetap mengurus lahan di samping menjual sebagaian hasilnya ke pasar ataupun membayar para pekerja lahan harian meskipun terjadi berbagai perubahan pola kepemilikan tanah semanjak masa revolusi. Hal ini berbeda dengan realitas perkotaan perancis. Rakyat di perkotaan berkisar antara pertokoan dan kerajinan yang mendekati pada petite borgeous atau borjuasi kecil. Di ambang tahun 1848, sektor buruh pada industry besar baru berjumlah seperempat bagian dari jumlah pekerja kasar. Kondisi umum dari kelas buruh bisa dilihat dari buruh perusahaan kecil seperti bangunan yang mana saat itu merupakan industry terbesar di Paris; Mereka pada umunya bernasib amat mengenaskan, buruh Lelaki dan wanita bahkan anak-anak bekerja di rumah seorang saudagar dengan pengaturan gaji, perumahan dan jam kerja yang sangat menindas. Intinya kelas buruh sekalipun mengalami berbagai perbedaan kondisi.[14] Menjelang tahun 1900 sendiri di daerah Lyon misalnya diketemukan baik pengrajin tradisional (tukang sarung tangan dan buruh tenun), pekerjaaan dalam sektor industri modern (pekerja tambang dan metalurgi), maupun pekerjaan sektor tersier yang berkaitan dengan industri (buruh kereta api, pelayan toko dsb); hal ini menyimpulkan kerumitan dan keberagaman dalam realitas buruh perkotaan. Menariknya di tahun 1900-an taraf hidup buruh setidaknya mengalami perbaikan misalnya makan lebih baik termasuk dalam hal mengkonsumsi daging lebih tinggi daripada tahun 1850, sayangnya hal ini tidak dibarengi dengan adanya pengawasan terhadap kesehatan, jaminan keselamatan dalam bekerja. Jam kerja dan pekerjaan yang tidak tetap menyebabkan kondisi buruh berada dalam ketidak pasatian yang ekstrem. Kelak terdapat beberapa undang-undang yang mulai dari Poor Law Act 1834, UU keselamatan kerja tahun 1898, UU Waldeck-Rousseau tahun 1884 yang memungkinkan dibentuknya sarikat buruh sampai UU tentang pemensiunan buruh dan petani tahun 1910.[15] Syukurlah berkat adanya sarikat buruh, nasib para pekerja mulai turut diperjuangkan. Setelah revolusi industri kondisi kaum pekerja atau proletariat dalam industri -menjelang masa industrialisasi dengan bercokolnya pabrik pabrik-, termasuk buruh di sektor industri pertanian semakin dipertaruhkan nasibnya. Kemauan kaum pemodal dan kelas menengah penguasa pasar membuat keterpurukan kaum pekerja melalui mekanisasi kehidupan mereka agar sejalan dengan keperluan pabrik. Umumnya mereka yang memiliki modal beserta kelas menengah dan kaum borjuis serta industrialis menganggap bahwa kaum pekerja dan buruh harus meningkatkan kemakmurannya sendiri, dan bukanlah menjadi tanggung jawab para pemodal tersebut. Kaum buruh yang telah mengenal serikat pekerja, misalnya yang bergabung dalam Trade Unions mulai memperjuangkan perbaikan keadaan kerja dan upah terhadap kaum pemodal. Sayangnya pemerintah sendiri sering terlalu berpihak kepada kaum industrialis dan pemodal daripada kaum buruh pada umumnya. Lalu bagaimana dengan nasib buruh di tanah jajahan?
Kedatangan bangsa barat di wilayah asia dan afrika mengawali tonggak kolonialisme. Bermula dari kebutuhan akan sumber daya alam sampai berlanjut pAada kepentingan pemasaran hasil produksi ketika industri-industri telah sukses memproduksi massal segala macam produk. Kesuksesan tahapan industrialisasi di eropa semenjak pertengahan abad 19 sampai awal abad 20 rupanya tak serta merta hanya berpengaruh pada wilayah eropa, namun justru dampak yang tak kalah besar adalah di negeri koloni atau jajahan. Kolonialisme dengan semangat politis imperialisme sebenarnya diboncengi kepentingan kaum industrialis alias siapa lagi kalau bukan anak cucu borjuasi. Lihat bagaimana Inggris dengan negara jajahannya India terkait pemasaran produk kain katun maupun daerah jajahan lainnya. Belanda yang sempat menahan industrialisasi di Hindia Belanda demi kepentingan yang tak jauh berbeda. Industrialisasi diimpor begitu saja melalui skema pasar dengan bantuan kolonialisme.
Di sisi lain industrialisasi memupuk ketergantungan negara konsumen terhadap negara produsen sebagaimana salah satu hakikat proyek kolonialisme sebagai lampu penerangan bagi pemasaran produk. Dalam lingkup ini, asia yang sering dipanggil the third world, termasuk asia tenggara merupakan negara-negara pasca kolonial yang notabene sebagai pihak yang merasakan dampak industrialisasi eropa dalam kedok kolonialisme. Dalam beberapa segi, apa yang didapati asia tenggara akibat industrialisasi di eropa adalah adanya proses modernisasi dalam berbagai sector kehidupan, namun tidak memungkiri adanya dependency terhadap penjajah. Salah satunya yang mencolok sampai hari ini adalah ketergantungan berbagai sektor industri semisal industri manufaktur sendiri yang sebagian besar negara-negara di asia tenggara masih bergantung pada modal asing.[16] Inti dari argumentasi tulisan ini adalah penggambaran mengenai industrialisasi eropa beserta factor kehadiran dan dampak perubahan sosial di dalmnya. Perlu diinsafi pula bahwa industrialisasi eropa sebagai gelombang awal sampai berombak besar di asia tenggara sebagai gejala yang dampaknya diversifikatif. Sayangnya dalam artikel ini, penulis tak mampu menjelaskan tentang bagaimana industrialisasi di asia tenggara, padahal terdapat corak unik dalam proses industrialisasi di negeri jajahan. Sebagaimana proses industrialisasi di Indonesia misalnya tidaklah unilineal melainkan multilineal.[17] Menyedihkan jika mengetahui dan mendengar kesimpulan opini publik tentang ekonomi kita di koran koran hari ini, bahwa sisa-sisa industrialisasi kolonial masihlah menghegemoni industri nasional. Benarkah tentang adanya industrialisasi tanpa pembangunan yang berarti? Akankah kita mampu berkembang mandiri selanjutnya, dan yang terpenting mampu belajar dari industrialisasi eropa sehingga sanggup meminimalisir impact negatifnya? Wallahua’lam.




[1] Laissez faire menurut Miriam Budiardjo merupakan suatu sistem yang berdasarkan pemikiran bahwa jika setiap orang mengejar kepentingan ekonominya secara rasional  dalam suatu sistem persaingan bebas dan ekonomi pasaran bebas, maka hal itu adalah suatu kebajikan atau baik untuk kepentingan masyarakat seluruhnya. Sehingga tidak menginginkan campur tangan pemerintah dalam mengatur dan mengendalikan ekonomi, hal ini merupakan suatu aspek dari kapitalisme. Lihat dalam MIriam Budiardjo (peny), Simposium Kapitalisme, Sosialisme, Demokrasi (Jakarta: Gramedia, 1984) hlm.97.

[2] Kuntowijoyo, Peran Borjuasi Dalam Transformasi Eropa (Yogyakarta: Ombak, 2005) hlm. 60 Kuntowijoyo sendiri juga menjelaskan akan pengaruh borjuasi selain dalam pembentukan kelas menengah dan industry, juga dalam hal mempengaruhi perkembangan pemikiran lihat hlm 157-205. Salah satunya pemikiran tentang liberalisme dan individualism, namun borjuasi sendiri sengaja mengembangkan pemikiran yang bertujuan menyelamatkan kesulitan yang dibuatnya sendiri misalnya pemikiran utilitarianism. John Stuart Mill (1806-1873) mengembangkan utilitarianisme menjadi democratic liberalism yang mengusahakan perwakialan seimbang dalam House of Commons sehingga minoritas tidak melulu menjadi obyek tiran mayoritas, lihat hlm 215. Dalam bahasa Indonesia terdapat terjemahan karangan John Stuart Mill yang berjudul on liberty. Periksa John Stuart Mill (Tertjemahan: Alex Lanur), Perihal Kebebasan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005). Memuat pemikiran Mill tentang batas wewenang individu terkait liberalism dsb.
[3] Lihat perbedaan perbedaan lain lebih jelas dalam Kuntowijoyo, Peran Borjuasi…, hlm 61-89.

[4] Carlton J.H,.Hayes, Contemporary Europe since 1870 (New York: The Macmillan Company, 1953) hlm. 4.

[5] Eric Hosbawm, Industry and Empire (Middlesex: Penguin Books Ltd, 1974) hlm. 13. Hosbawm sendiri juga menilai bahwa revolusi industry yang kelak membawa pembangunan luar biasa dalam sejarah umat manusia. Selain itu revolusi industri tidak hanya membantu percepatan pertumbuhan ekonomi, tetapi percepatan yang diakibatkan dan melalui perombakan pola organisasi kehidupan ekonomis maupun sosial.

[6] Untuk penjelasan lebih baiknya lihat Carlton J.H. Hayes, Contemporary Europe…, hlm. 4-7.

[7] Van Der Meulen S.J., BelajardariLahirnyaIndustrialisasi di Eropa  (Yogyakarta: Kanisius,1990) hlm. 19-20.

[8] Van Der Meulen S.J, Belajar dari Lahirnya…, hlm. 20-28. Van Der Meulen menilai pada tahap awal yaitu pertukangan rumahan, manusia menggunakan semboyan do it yourself, atau buatlah sendiri. Menurutnya di desa-desa eropa dahulu terdapat pertukangan rumahan yang memenuhi kebutuhan barangnya untuk dirinya dan keluarganya sendiri, Kalaupun dijual masihlah dalam jumlah sangat terbatas. Sebagaimana dikisahkan bahwa di suatu jalur perdagangan yang dapat dikatakan ramai yaitu dari Italia menuju Eropa tengah dan sebaliknya melewati celah St. Gothart di pegunungan Alpen, dalam satu tahun kuantitas pengiriman barangnya belum sampai mengisi satu gerbong kereta modern. Padahal barang-barang yang diperdagangkan berupa barang-barang luks yang amat mahal dan amat sedikit jumlahnya. Di kota-kota memanglah terdapat hubungan majikan dan buruh, tetapi umunya tak lebih dari tiga orang buruhnya. Sedangkan sang majikan sendiri biasanya justru ikut bekerja bersama dalam suatu serikat guild.  Dalam serikat guild tersebut terdapat tingkatan Master (Guru), Geselle atau Mate (Teman), dan Apprentice (Murid), Sedangkan setiap teman atau murid mampu menjadi seorang guru kapanpun asal telah memenuhi syarat kemampuannya. Sistem ini menjadi sistem tradisional yang sempat bertahan beberapa abad sampai kemudian mulai hancur oleh campur tangan para borjuasi atau para pedagang.
Pada tahap kedua ketika para pedagang menyelundup ke dalam industri rumahan, maka perlahan Industri rumahan mulai terikat kontrak dengan pedagang. Produksi mereka biasanya sangat berkaitan dengan permintaan khusus dari pedagang, yang tak mungkin ditolak karena adanya hubungan hutang-piutang. Ketika masuk tahap ketiga, yaitu mulai ditemukan dan timbulnya sistem factory, maka industri rumahan dikembangkan oleh para pedagang menjadi lebih besar melalui suatu pengorganisasian kerja. Salah satu tujuannya adalah untuk mencapai produksi sebanyak mungkin guna meraih keuntungan sebanyak-banyaknya sebagaimana hakikat penumpukan kekayaan ala kapitalisme. Factory yang secara umum dapat diartikan sebagai industri, mecerminkan sistem industri yang memaksimalkan sistem produksi. Adapun factory system sendiri diperkirakan benar-benar mencapai perkembangan yang maksimal semenjak akhir abad 18 dengan adanya penemuan alat-alat baru yang mendukung sistem produksi, inilah puncak yang sering disebut sebagai revolusi industri. Terlebih revolusi industri makin mencapai klimaksnya dengan tahapan keempat yakni kerajaan mesin. Hal mana penemuan mesin-mesin tersebut selain mendukung sistem produksi,  juga menuntut perubahan pengorganisasian dan manajemen industri. Selain meminimalisir kinerja tenaga manusia, kaidah tersebut turut mempengaruhi pemindahan letak industri seketika alat-alat harus menggunakan tenaga air misalnya yang menuntut posisi industri dekat dengan sungai atau sumber air dsb, Hosbawm sendiri juga menilai realitas perdagangan semenjak tahun 1700 sampai 1750 turut meningkatkan ekspor inggris akan komoditas seperti wol dan kain ke sejumlah wilayah eropa dan negeri jajahan amerika, Inilah yang menurut Hosbawm merupakan bunga api yang akan memantik revolusi industri.

[9] Merkantilisme sendiri bukanlah merupakan suatu bentuk stelsel ekonomi tertentu. Hanya saja merkantilisme merupakan sistem peraturan yang praktis sebagai bentuk cita-cita ekonomi yang dijalankan terpusat oleh pemerintah terkait. Praktis di sini, dikarenakan sistem penerapannya berkaitan antara satu negara dengan negara lainnya. Kesamaan utamanya adalah di tiap-tiap negara berlomba-lomba untuk mendapatkan dan mengumpulkan sebanyak-banyaknya logam mulia seperti emas. Sehingga pencapaian utamanya adalah neraca perniagaan yang positif, dan emas-lah faktor penentu kekuatan tiap-tiap negara. Adapun di tiap negara memiliki corak tersendiri yang khas, Periksa lebih lanjut dalam Soedinar Hardjosoebroto, Pengantar Sejarah Perekonomian Dunia: Akhir Abad Pertengahan sampai Perang Dunia II  (Yogyakarta: UGM, 1976) hlm. 4-6.

[10] Van Der Meulen S.J, Belajar dari lahirnya Industrialisasi…, hlm. 58.

[11] Sebelumnya perlu diakui, bahwa sebab kebodohan penulis dalam mengkaji konsep marxisme. Penulis belumlah menyempatkan diri untuk mempelajari Das Capital atau Capital, vol 1-3(1863-1867) maupun Wage , Labour and Capital (1849) dan Grundrisse (outline of a Critique of Political Economy)(1857)dan berbagai karya penting Karl Marx lainnya. Namun sebagai sebuah pemahaman dan penjelasan mengenai konsep keterasingan atau kelas pekerja atau buruh yang didasari pada realitas eropa (Perancis dan Jerman, terkait latar belakang Karl Marx) pada abad 19, penulis sengaja bertolak pada karangan dalam bahasa indonesia diantaranya Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionaisme (Jakarta: Gramedia, 2005); Ken Budha Kusumandaru, Karl Marx, Revolusi, dan Sosialisme: Sanggahan terhadap Franz Magnis Suseno (Yogyakarta: Insist Press, 2003); Pip Jones, Pengantar Teori-teori Sosial; Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-modernisme (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009); dan terakhir sebuah rekaman diskusi dalam sebuah konsosrsium yang diselenggarakan oleh departemen pendidikan dan kebudayaan republik indonesia di gedung Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta. Rekaman diskusi kemudian ditulis dan diterjemahkan ke dalam sebuah buku yang amat menarik, hal mana salah satu pokok bahasannya adalah membicarakan ihwal marxisme, simak dalam Harsja W. Bachtiar (peny), Percakapan dengan Sidney Hook (Jakarta; Penerbit Djambatan, 1976).
Seperti dikemukakan Pip Jones dalam bukunya, bahwa menurut Marx, potensi bagi pencapaian individu terkait dengan aktivitas ekonomi maupun produksi dari suatu masyarakat; khususnya kesempatan untuk bebas dalam masyarakat modern hanya mungkin terjadi apabila sistem produksi berbasis kelas yang menjadi karakteristik kapitalisme dihapuskan (Lihat Pip Jones, ibid, hlm. 76). Adapun Marxisme menyoroti pada sistem produksi kapitalistik, hal mana mempertemukan pergumulan kelas antara kelas borjuasi dengan kelas proletar. Kelas borjuasi sebagai pihak yang menguasai alat produksi, sedangkan pihak proletar sebagai pihak yang terperdaya oleh penguasaan hak milik produksi para borjuasi. Selain konsep yang sering kita kenal sebagai materialisme historis dengan menganggap bahwa gerak sejarah adalah perjuangan kelas atau tentang  sejarah berbagai macam sistem produktif yang berbasis eksploitasi kelas. Nantinya apa yang dikonspsikan Karl Marx, dibantu Friedrich Engels turut menjabarkan realitas masyarakat eropa menjelang Industrialisasi, dimana makin berjangkitnya buruh-buruh pabrik, semisal bagaimana ketimpangan-ketimpangan akibat akumulasi kapital melalui pemanfaatan nilai lebih atau surplus value yang didapat dari kinerja kelas pekerja. Salah satu temuan menarik dari gagasan Marx adalah mengenai ketergantungan Kelas pekerja terhadap pihak pemodal atau borjuis, sehingga mengakibatkan apa yang disebut sebagai keterasingan atau alienasi dalam pekerjaan. Frans Magnis Suseno mengemukakan bahwa marx menilai bahwa pekerjaan adalah sarana obyektifikasi manusia atau sebagai tindakan manusia yang paling dasar, sehingga tanpa pekerjaan manusia manusia dapat dikatakan memungkiri eksistensinya, selain itu melalui pekerjaan itu pula manusia membuktikan diri sebagai makhluk sosial. Frans Magnis Suseno juga menjelaskan bahwa dalam hal keterasingan dalam pekerjaan sebagaimana digagaskan oleh Karl Marx memiliki setidaknya memiliki tiga segi, Segi pertama melalui pekerjaan yang dalam sistem kapitalistik, para buruh terasing dari produknya, hal mana hasil karya kerjanya semestinya menjadi miliknya justru dikuasai oleh pemodal, mengingat pekerja atau buruh hanya dibayar lewat upah atas keterampilannya; Segi kedua, Marx mengemukakan bahwa semakin si pekerja menghasilkan pekerjaan, dunia batinnya menjadi semakin miskin, akibatnya tindakan bekerja itu pun kehilangan arti bagi si pekerja, hal ini mematahkan hakekat bekerja secara bebas, menjadi bekerja sesuai paksaan sang pemilik perusahaan atau pemodal; sehingga pekerjaannya dilakukan bukan atas hasrat ataupun dorongan batin, namun hanya sebagai pemenuh kebutuhan akan upah, kebutuhan akan bertahan hidup dari kelaparan dsb; Segi ketiga adalah bahwa akibat melakukan pekerjaan dengan mengingkari keinginan alaminya, maka pekerja atau buruh memperalat pekerjaannya semata mata hanya demi nafkah atau upah sehingga ia memperalat dirinya sendiri (Lihat Frans Magnis Suseno, Ibid, hlm. 89-109 untuk lengkapnya).
Berlainan dari Franz Magnis Suseno, Ken Budha Kusumandaru menulis sebuah karangan sebagai sebuah sanggahan atas karangan Frans Magnis Suseno mengenai Karl Marx. Hal mana di dalamnya memuat mengenai ketidaksepahaman atas beberapa segi penjelasan, salah satunya dengan menjawab apa yang dinilai Ken Budha sebagai keraguan Frans Magnis bahwa apakah keterasingansemata mata hanya berasal atau diidentikan dengan sistem upahan? Apakah dengan menerima upah saja mengasingkan? Bukankah dengan sistem pembayaran dapat menjadi cara praktis pengorganisasian pembagian hasil kerja? (Lihat Frans Magnis Suseno, Ibid, hlm. 106). Ken Budha menilai bahwa penjelasan Frans Magnis atau Romo Magnis hanyalah berlandaskan permenungan filsafat belaka, yang dinilainya akan gagal menjelaskan termasuk menemukan sebab dari keterasingan termasuk  sistem kerja upahan yang menurut Ken sendiri memang mau tak mau harus dihapuskan terlebih dahulu, meskipun keterasingan sendiri memang tidak selalu mengambil bentuknya pada sistem kerja upahan semata (Untuk lengkapnya silahkan periksa Ken Budha Kusumandaru, Ibid, hlm. 177-199). Adapun masih banyak hal lagi perdebatan mengenai Karl Marx maupun Marxisme yang termuat dari buku Ken Budha Kususmandaru atas karangan Frans Magnis Suseno. Namun tak dapatlah dipungkiri bahwa Marxisme merupakan gagasan penting yang tak mungkin dihilangkan dalam memahami sejarah eropa, tak hanya pada realitas abad 19 namun pada abad-abad berikutnya terkait corak perkembangan pemikiran dan pengaruhnya yang semakin bervariasi dan kontroversi. Mulai dari Marxisme, sampai kepada Leninisme dan Bolshevisme, Trotskysme, Maoisme dan berbagai varian dan pengikut pengkritik yang begitu banyak, sampai berbagai aliran pemikiran di dunia yang dipengaruhi oleh marxisme, baik marxisme humanis sebagaimana diadaptasi Antonio Gramsci maupun para eksponen mazhab frankfurt; sampai marxisme strukturalis ala Louis Althusser dan masih banyak lagi. Sidney Hook menilai bahwa terdapat perubahan pandangan Karl Marx muda dengan Karl Marx Tua dalam hal memandang konsep alienasi. Pertama Marx menegaskan bahwa manusia menurut marx memiliki kelanggengan sifat pembawaan; bahwasanya manusia memiliki sifat pembawaan sejati dan ia mengalami penjauhan dari sifat pembawaan ini karena masyarakat kapitalis dan masyarakat industri. Namun di kemudian hari setelah marx menjadi katakanlah seorang marxis atau marx tua, bahwa manusia mengalami alienasi dari alamnya akibat modal dan industri bukan semata masyarakatnya, kemudian ia juga menyangkal bahwa manusia tidak mempunyai sifat pembawaan sejati, dan marx juga mengatakan bahwa sifat pembawaan manusia selalu berganti. Selain itu marx menilai bahwa penjauhan manusia merupakan sebab adanya harta pribadi. Alienasi sendiri merupakan gejala psikologi dan harta pribadi merupakan gejala ekonomi. Menariknya bahwa marx muda mengatakan bahwa harta ppribadi timbul karena sikap mental yang salah kaprah, namun kemudian saat marx tua, menentang pendapat tersebut dan menilai bahwa sikap mental tergantung pada eksistensi sosial. Kesadaran menurut marx tidak menentukan eksistensi sosial, justru sebaliknya eksistensi sosial-lah yang menentukan kesadaran (Lihat komentar Sodney Hook dalam Harsya W. Bachtiar, ibid, hlm. 127). Sidney Hook sendiri meskipun menururt saya berbicara sedikit banyak mewakili amerika, namun ia juga memberi komentar komentar sangat penting terlebih perdebatannya dengan ilmuwan indonesia sekaliber Arief Budiman, Rosihan Anwar, Usep Ranawijaya, Sutan Takdir Alisjahbana, Alfian, H.M Rasjidi,  T.B Simatupang dsb. Sidney Hook sendiri menyimpulkan empat sumbanagn positif marx, yaitu; Pertama, pengakuan marx akan besarnya faktor-faktor ekonomi dalam membatasi alternatif-alternatif dalam tindakan; Kedua, Marx telah menyumbangkan apa yang kita namakan sebagai kritik sosial dan kesangsian serta pengaruh kepentigan-kepentingan kelas mengenai cita-cita; Ketiga, Marx termasuk yang perdana sadar akan pengaruh dari ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia serta akan timbulnya siatu masyarakat industri; Terakhir dan menurut Sidney Hook yang terpenting adalah pendekatan historis terhadap semua dalil yang ia ajukan. Lihat selangkapnya dalam Harsya W. Bachtiar, Ibid, hlm. 131-132). Inilah yang menurut saya marx pantas pula dijajarkan setidaknya sebagai filusuf sejarah. Sejatinya pasca reformasi, makin marak karangan tentang marxisme, yang mestinya lebih luas dari beberapa sumber terjemahan di atas. Salah satunya karya Das Capital sendiri telah diterjemahkan oleh Oey Hay Djoen, sayangnya saya belum sempat membaca dan mendaptakan versi bukunya. Sedangkan versi pdf, dan beberapa karya terkait marxisme bisa dibaca dan diunduh di http://www.marxists.org/indonesia/index.htm

[12] Untuk pembahasan tentang artisan misalnya dapat anda pelajari dalam Edward Palmer Thompson, The Making of The English working Class (Middlesex: Penguin Books Ltd, 1974),  dengan sub bab Artisan and Others, hlm. 259-296.

[13] Untuk pembahasan mengenai standar hidup di masa revolusi industry bisa dibaca dalam tewma mendalam, misalnya kumpulan tulisan yang disunting Arthur J. Taylor yang berjudul The Standard Living in Britain in the Industrial  Revolution (London: Methuen & Co Ltd, 1975). Terdapat pula tulisan sejarah lebih mendetail dan sangat menarik memperlihatkan pembentukan kelas pekerja dengan perpektif sosiologis bahkan cenderung pada apa yang disebut sebagai People’s history melalui pendekatannya yang marxis dengan penyorotan pada pemebentukan kelas pekerja di Inggris, Baca Edward Palmer Thompson, Ibid. Dalam kesempatan menulis makalah pendek ini, penulis mohon maaf belum menyempatkan diri mempelajari karangan tersebut yang semestinya amat penting menggambarkan realitas industrialisasi terkait standar kehidupan termasuk para buruh pada khususnya.
[14]  Bisa dibaca laporan Adolphe Blanqui mengenai kondisi kelas-kelas buruh di tahun 1848 di Perancis. Lihat cuplikannya dalam Jean Carpentier dan Francois Lebrun et.al, Sejarah Perancis: Dari Zaman Prasejarah Hingga Akhir Abad Ke-20  (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2011) hlm. 302.
[15] Jean Carpentier dan Francois Lebrun et.al, ibid, hlm. 332.

[16]  Yoshiara Kunio, Kapitalisme Semu Asia Tenggara (Jakarta: LP3ES, 1990) hlm. 46.

[17] Kuntowijoyo, Industrialisasi dan Dampak Sosialnya, (dlm), Prisma, No 11/12, 1983, hlm. 64. Unilineal yang dimaksud Kuntowijoyo adalah tidak berarti bahwa transformasi Industrialisasi melulu dari masyarakat agraris ke masyartakat indusatri maupun dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, melainkan suatu evolusi yang multilineal. Menurut Kuntowijoyo, Industrialisasi tidak dapat dilepaskan begitu saja dari moderenisasi, karena industrialisasi bagian dari peradaban modern.. Namun kedua hal tersebut bisa pula berjalan bersamaan ataupun tidak sama sekali, atau bahkan moderenisai-pun bisa terjadi tanpa adanya industrialisasi, Misalnya suatu desa dengan hadirnya sambungan telepon dan internet mengalami kemajuan atau moderenisasi, Tanpa perlu menunggu munculnya industrialisasi. Lain lagi di tanah jajahan, misalnya dengan dihadirkannya industrialisasi besar-besaran baik sektor agraris maupun formal. Namun sebagian besar masyarakatnya masih dalam cara hidup tradisional, hal ini menimbulkan apa yang disebut sebagai dualisme.
Kuntowijoyo juga menilai bahwa masyarakat industri hanya akan terwujud apabila terdapat proses produksi secara mekanis dalam pabrik-pabrik ataupun perusahaan. Sedangkan masyarakat industri sendiri seolah memiliki moralitas baru yang cenderung menekankan pada rasionalisme ekonomi, pencapaian perorangan dan egaliterisme atau persamaan. Sedangkan gejala-gejala penbting dalam masyarakat Industri sendiri bisa berkisar dari; Memanjangnya usia rata-rata; Kenaikan terus menerus dalam output nasional; Obsesi terhadap produksi dan ekspansi; Penciptaan lingkungan buatan bagi manusia; Tenaga kerja dan Organisasi yang serba besar; Spesialisasi dan Rasionalisasi intelektual dan sosial (dikutip Kuntowijoyo dari Raymond Aron, The Industrial Society: Three Essays on Ideology and Development (New York: Fredrcik A. Prager, Publishers, 1967) hlm. 69.